Untuk mereka yang menyimpan
Tuhan masing-masing
dalam hatinya
(Okky Madasari)
Sumarni,
seorang perempuan Jawa lahir di tengah keluarga miskin. Marni yang
hanya tinggal berdua dengan ibu atau simboknya mengalami masalah saat
masuk masa pubertas. Ia merasa mringkili (payudara mulai tumbuh)ada yang
tumbuh di dadanya, yaitu payudara yang membesar. Marni merasa terganggu
dengan payudara yang mulai muncul dan membuat ia tidak bebas bergerak.
Marni pun menginginkan entrok (BH atau bra), seperti milik sepupunya,
Tinah. Namun, entrok pada masa itu termasuk barang yang mewah dengan
harga cukup mahal. Simbok yang tiap hari pekerjaannya hanya dibayar
dengans ingkong tentu saja tidak dpat membelikan Marni entrok. Dari
keinginannya untuk memiliki entrok, mulailah Marni memutar otaknya,
bagaimana agar dia mendapatkan entrok. Setiap hari Marni yang masih
belia menjadi kuli angkat barang di Pasar Ngranget hingga memiliki uang
untuk membeli entrok.
Suatu malam, Marni bermimpi memiliki entrok yang terbuat dari sutra, dihiasi intan dan pertama yang bisa dipamerkan di sepanjang jalan ke pasar. Semua perempuan yang milihat entrok itu takjub dan iri pada Marni. Inilah yang membuat Marni termotivasi untuk bekerja apa pun. Ia ingin mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar dapat memiliki entrok seperti itu.
Dari uang tabungan Marni yang sedikit, ia menganti pekerjaannya. Ia membeli sayuran dan menjualnya ke rumah-rumah warga desa.
Setelah
menikah dengan Teja, seorang kuli angkut di pasar, Marni menjual sayur
semakin banyak dan laris. Perlahan-lahan ekonomi Marni terangkat hingga
ia menjadi tukang kredit perabotan rumah tangga. Tetangga-tetangga Marni
pun meminjam uang padanya dan Marni meminjamkan mereka degan niat
membantu. Tetapi karena mereka selalu meminjam, maka Marni pun
menetapkan peraturan bunga pinjaman ditetapkan 10%. Namun, pembayaran
utang dan bunganya boleh dikredit.
Setiap
hari Marni melakukan pekerjaannya dengan ulet dan bersemangat. Berbeda
dengan suaminya yang hanya manut-manut dan suka mabuk-mabukan. Teja juga
suka main perempuan. Rahayu, anak Marni pun tidak pernah mendukung
ibunya. Ia membenci ibunya dan selalu melawan sebab menganggap ibunya
sebagai orang berdosa. Rahayu mendengar dari warga sekitar dan gurunya,
bahwa ibu Rahayu adalah seorang yang menyembah leluhur, memberi makan
setan, dan memelihara tuyul. Inilah yang membuat Marni yang dulunya
tidak punya apa-apa sekarang menjadi salah satu orang kaya di Singget.
Marni yang menyembah Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa disalahkan oleh anaknya,
sebab seharusnya yang disembah adalah Gusti Allah. Marni yang tidak
mengenal Gusti Allah pun tidak dapat menyembah kepada-Nya dan Rahayu
tidak mau mengenalkan-Nya pada ibunya.
Orang-orang
di desa Marni pun selalu mencaci Marni di depan atau di belakang Marni,
menganggap Marni rentenir, walau mereka tak henti meminjam uang Marni.
Bukan hanya warga desa, aparat pun selalu memeras Marni. Tentara atau
polisi, sama saja. Mereka selalu menindas orang desa dengan menggunakan
jabatan mereka sebagai tameng untuk menyiksa. Jika ada warga yang
melawan, aparat tersebut mengancam akan menuduh mereka sebagai PKI dan
memasukkan dalam penjara.
Rahayu
menuntut ilmu di Yogykarta dengan restu orang tuanya yang rela
melakukan apa saja untuk pendidikan anaknya, agar anaknya dapat menjadi
sarjana pertama di desa mereka, agar Rahayu dapat menjadi pegawai, tidak
seperti kedua orang tuanya yang buta huruf. Marni yang menyimpan semua
harapan pada anaknya satu-satunya harus dikecewakan dengan keinginan
Marni untuk dinikahkan dengan Amri, pria rupawan yang sudah memiliki
istri. Marni yang awalnya tidak menyetujui akhirnya member kebebasan
pada anaknya yang keras kepala. Rahayu pun meninggalkan desanya.
Marni
mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya. Suaminya, Teja telah
meninggal dalam sebuah kecelakaan, sementara usahanya bangkrut. Tebu
yang ia tanam tidak laku karena pabrik gula yang bangkrut, tanahnya
nyaris habis karena diperas tentara, sedangkan usaha kreditnya mati
sebab orang desa mendapat kredit dari bank. Ia dikejutkan lagi dengan
kabar bahwa anaknya, Rahayu ada di penjara. Marni menebus Rahayu dengan
satu-satunya tanah yang miliki hingga ia tak punya apa-apa lagi. Namun,
Marni tetap bersyukur karena masih memiliki Rahayu.
Rahayu
yang sekarang bukan Rahayu yang dulu. Sekarang ia pendiam, penurut, dan
hanya mau tinggal di rumah. Hidupnya seperti tidak ada artinya lagi.
Ternyata, Rahayu dicap PKI, ia pernah dipenjara. Marni tetap ingin
membahagiakan anaknya. Ia mencari pemuda yang mau menikah dengan
anaknya. Setelah mendapatkan Sutomo, anak tukang andong di dekat pasar,
Marni menyiapkan semua persiapan pernikahan. Namun, tiba sehari sebelum
menikah, Sutomo dan ayahnya datang ke rumah Marni dan meminta pembatalan
pernikahannya dengan Rahayu sebab baru tahu bahwa calon istrinya PKI.
Ia tidak mau dan merasa tertipu. Saat itu juga, Marni seketika menjadi
gila. Sementar Rahayu sudah menerima nasib, bahwa tak ada yang mau
dengannya, seorang korban yang di-PKI-kan dan seorang yang sudah
diperkosa polisi saat di penjara.
novel
ini gue bahas untuk presentasi kebudayaan mata kuliah kritik sastra.
gue suka ama novel ini. walau tebalnya 280-an halaman, diksinya santai
jadi gampang dibaca. novel yang diterbitkan PT Gramedia tahun 2010 ini
juga sempat dibahas di bedah buku di fakultas gue, FIB UI beberapa
minggu lalu (tapi gue ga dateng), hehe.. penokohan Marni sebagai tokoh
utama digambarkan dengan bulat. ia seorang pekerja keras, sabar, lembut
sebagai ibu dan istri, tapi tidak bisa melawan tekanan yang membuatnya
tertindas.
menurut gue, novel ini wajib dibaca karena memberi refleksi pada kita tentang beberapa poin, yaitu
1. tidak menghakimi orang lain
2. bertoleransi pada perbedaan yang dimiliki sesama
3. mengingatkan kita aparat-aparat keamanan yang justru membuat kita merasa tidak aman karena tindakan dan perilaku mereka
4. kita harus melawan dan jangan mau ditindas
5. jangan takut bermimpi
6. kita harus berusaha dan pantang menyerah sampai kapan pun
7. bijaksana lah, jangan hanya memandang sesuatu dan satu sisi
8. jangan menganggap materi sebagai segalanya dan mau diperbudak.
selamat membaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar